Donderdag 23 Mei 2013

Analisis Roman "Sengsara Membawa Nikmat"



 IDENTITAS ROMAN
Judul                     : Sengsara Membawa Nikmat
Pengarang             : Tulis Sutan Sati
Penerbit                 : Balai Pustaka
Cetakan                 : 1929
Tebal Buku            : 192 Halaman

A.       UNSUR – UNSUR
        Unsur Intrinsik
a.      Tema
Perjuangan,
            Dilihat dari judul roman “Sengsara Membawa Nikmat” sudah terlihat bahwa tema yang terkandung dalam roman tersebut adalah Perjuangan seorang tokoh bernama Midun yang berasal dari keluarga sederhana di kampung Minangkabau untuk merubah nasibnya yang penuh dengan kesengsaraan, hingga akhirnya sebuah kenikmatan didapatkannya.
b.      Karakter dan Penokohan
·         Midun : Tokoh Protagonis; disukai orang banyak, budi pekertinya baik, santun, gagah berani, alim, penyayang.
Seperti yang tercantum dalam kutipan (Memang Midun seorang muda yang sangat digemari orang di kampungnya. Budi pekertinya amat baik, tertib sopan santun kepada siapa jua pun. Tertawanya manis, sedap didengar; tutur katanya lemah lembut. Ia gagah berani lagi baik hati, penyayang dan pengasih….. SMN, 2010: 4).
·         Kacak : Tokoh Antagonis; Tinggi hati, sombong, busuk hati, tidak disukai orang, dan suka berkata kasar kepada orang.
Seperti yang tercantum dalam kutipan (…..karena bersesuaian dengan tingkah lakunya. Ia tinggi hati, sombong, dan congkak. Matanya juling, kemerah-merahan warnanya. Alisnya terjorok ke muka, hidungnya panjang dan bungkuk. Hal ini sudah menyatakan, bahwa ia seorang yang busuk hati. Di kampung ia sangat dibenci orang, karena sangat angkuhnya….. SMN, 2010: 5)
·         Halimah : Cantik, budi pekertinya baik, sederhana, dan manis dipandang mata.
Seperti yang tercantum dalam kutipan (…..”Sungguh cantik gadis ini, tidak ada cacat celanya. Hati siapa yang tidak gila, iman yang takkan bergoyang memandang yang seelok ini. Tingkah lakunya pun bersamaan pula dengan rupannya. Kulitnya kuning langsat, perawakannya sederhana”….. SMN, 2010: 144)
·         Pak Midun : Berbudi pekerti baik, arif
Seperti yang tercantum dalam kutipan (…..karena pak Midun seorang yang tahu dan arif, tiadalah ditinggalkannya syarat-syarat aturan berguru…. SMN, 2010: 16), Penyayang kepada anak-anaknya, seperti yang tercantu dalam kutipan (….Demikianlah hal pak Midun habis hari berganti pecan, habis pecan berganti bulan. Ia selalu bercintakan Midun, sedikit pun tidak hendak luput dari pikirannya… SMN, 2010: 167).
·         Haji Abbas : budi pekertinya baik, berilmu, dan seorang ulama besar.
Seperti yang tercantum dalam kutipan (….. Haji Abbas adalah seorang ulama besar. Memang menjadi sifat pada haji Abbas, jika menuntut sesuatu ilmu berpantang patah di tengah. …….Haji Abbas adalah seorang tua, yang lubuk akal gudang bicara, laut pikiran tambunan budi, maka ia pun dimalui dan ditakuti orang di kampung. SMN, 2010: 18).
·         Tokoh Tambahan : Maun, Kadirun, Ibu Juriah, Juriah, Kemenakan tuanku Laras, Pendekar Sutan, Pak Inuh, Lenggang, Jenang, Sapir, dll.


c.       Setting/Latar
·         Tempat      : Cerita berlangsung di Minangkabau, Bukitinggi, Padang, Tanah Jawa. Seperti yang tercantum dalam kutipan sebagai berikut 
o   (….. Sesudah makan-minum, maka diketengahkannyalah oleh Pak Midun syarat-syarat berguru ilmu silat, sebagaimana yang sudah dilazimkan orang di Minangkabau. SMN, 2010: 16).
o   Bukittinggi, seperti yang tercantum dalam kutipan (Sebulan lagi ada pacuan kuda dan pasar malam di Bukittinggi. SMN, 2010: 59. 
o   Padang, seperti yang tercantum dalam kutipan (Setlah Midun keluar dari kantor Landraad, diceritakannyalah kepada ketiga bapaknya, bahwa Ia dihukum ke Padang lamanya empat bulan. SMN, 2010: 81). 
o   Tanah Jawa-Bogor seperti yang tercantum dalam kutipan (…Sudah padat hatinya hendak mengantarkan Halimah ke Bogor. SMN, 2010: 122).
·         Waktu       : Waktu Asar,
Seperti yang tercantum dalam kutipan (Waktu asar sudah tiba. SMN, 2010: 1) Hari ahad pagi-pagi, seperti yang tercantum dalam kutipan (Hari ahad pagi-pagi, Midun sudah memikul tongkat pengirik padi ke sawah. SMN, 2010: 27) Malam hari, seperti yang tercantum dalam kutipan (Sekali peristiwa pada suatu petang Midun pergi ke sungai hendak mandi. SMN, 2010: 43.
·         Suasana     :
o   Tegang, Takut, Seperti yang tercantum dalam kutipan (Amboi, bunyi yang kami takutkan itu, kiranya “Cempedak hutan” yang baru jatuh…., mereka itu berjeritan dan bersiap hendak lari, tetapi kaki mereka itu tak dapat lagi diangkatnya, sebab sudah kaku karena ketakutan. SMN, 2010: 11).
o   Sedih, seperti yang tercantum dalam kutipan (….Permintaan itu dikabulkan oleh mereka itu. Pak Midun berkatabdengan air mata berlinang-linang, katanya, “baik-baik engkau di negeri orang, Midun! SMN, 2010: 81).
o   Bahagia, seperti yang tercantum dalam kutipan (Mendengar perkataan itu hampir tidak dapat Midun menjawab, karena sangat girang hatinya mendengar kabar itu. SMN, 2010: 117).
d.      Alur/Plot
            Alur yang terdapat dalam roman “Sengsara Membawa Nikmat” menggunakan alur maju.
Adapun bagian-bagian alur yaitu sebagai berikut:
·         Pengenalan situasi : Seorang muda bernama Midun dalam menjalani hidupnya penuh dengan cobaan hidup yang bertubi-tubi. Midun adalah muda yang dibanggakan oleh keluarganya dan warga-warga di kampung karena tabiatnya yang baik, santun, dan alim. Namun, ada seorang pemuda yang sangat sombong dan membencinya, ia bernama Kacak.
·         Pengungkapan Peristiwa : Kebencian Kacak terhadap Midun semenjak berdua belas di masjid karena orang kampung meletakkan hidangan yang betimbun-timbun di hadapan Midun dan Maun. Sedangkan kepada Kacak hanya seberapa, tak cukup sepertiga dari hidangan yang diletakkan dihadapan Midun. Kacak mencoba menjerumuskan Midun ke penjara dengan segala cara yang dihalalkannya. Seperti pada saat permainan sepak raga di Pasar, karena Kacak tersungkur/terjatuh pada saat permainan itu. Hal tersebut membuat Kacak malu dan amat marah kepada Midun. Hingga akhirnya mereka berkelahi dan membuat Midun dihukum oleh tuanku Laras selama beberapa hari.
·         Menuju Adanya Konflik : Kebencian Kacak kepada Midun tidak pernah usai. Kacak kembali lagi menyusun rencana untuk Midun agar Midun dihukum lebih berat dan lenyap dari kampung. Di Pasar malam terjadi perkelahian besar antara anak buah Kacak dengn Midun. Kacak mencoba untuk mencelakakan Midun, dengan memfitnahnya. Pada akhirnya, Midun dipenjara di Padang selama 4 bulan.
·         Puncak Konflik : Pertemuan Midun dengan Halimah di taman, pada waktu hari terakhir Midun melakukan kegiatan kerja bakti di Penjara. Setelah Midun bebas, Midun menyelamatkan Halimah agar terbebas dari ayah tirinya yang ingin menikahinya. Mereka pergi ke tanah Jawa, tepatnya di Bogor, di rumah ayah kandung Halimah. Disana Midun bekerja keras dan mencari pekerjaan. Awalnya Midun mengikuti saudagar kaya yang menjual kain, Midun ikut bekerja denganya. Namun, Midun tertipu oleh saudagar tersebut, hingga akhirnya Midun difitnah oleh saudagar tersebut dan Midun dimasukkan penjara.
·         Penyelesaian : Setelah Midun bebas dari penjara, Midun mendapatkan pekerjaan yang layak yaitu sebagai menteri polisi di Tanjung Priok karena kebaikannya. Midun menikah dengan Halimah dan memiliki anak laki-laki. Pada akhirnya, Midun kembali ke kampungnya dan hidp bahagia bersama keluarganya. Di kampung, Midun diangkat sebagai penghulu, bergelar Datuk Paduka Raja. Kacak pun di penjara karena menggelapkan uang belasting.
e.       Sudut Pandang
Sudut pandang pengarang dalam roman “Sengsara Membawa Nikmat” menggunakan sudut pandang pengarang sebagai orang ketiga serba tahu yaitu dengan menggunakan kata “Dia, Ia dan Nama Orang”, misalnya Midun, Maun, Pak Midun, Halimah, dll. Seperti dalam kutipan (Memang Midun seorang muda yang sangat digemari orang di kampungnya. SMN, 2010: 4), (Ia tinggi hati, sombong, dan congkak….  Adat sopan santun sedikit pun tak ada pada Kacak. SMN, 2010: 5).
f.       Gaya Bahasa
            Pengarang dalam mengungkapkan gagasannya menggunakan gaya bahasa yang indah namun sederhana, dan ada beberapa gagasan yang diungkapkan dengan menggunakan bahasa daerah Minangkabau dan beberapa kalimat yang bermajas serta peribahasa. Walaupun pengarang menggunakan bahasa asing, namun terdapat makna dari kata asing tersebut. Seperti dalam kutipan sebagai berikut;
·         Dengan menggunakan kata asing/bahasa lain (…. Dengan tidak menanti anak raga SMN, 2010: 7) artinya menyepak raga yang menyambug sesudah jatuh. (…Ia telah menjadi guru tua. SMN, 2010: 3) artinya pembantu.
·         Dengan mengunakan bahasa Minangkabau (Amboi, bunyi yang kami takutkan itu, kiranya “Cempedak hutan” yang baru jatuh…., SMN, 2010: 11). (…. Sehari-harian itu Midun bekerja paksa. Tak sedikit jua ia berhenti melepaskan lelah….. seakan-akan orang ia kerja paksa seharian itu. SMN, 2010: 97).
·         Gagasan yang bermajas. Majas Hiperbola (….Bertimbun-timbun, hingga hampir sama dengan duduk kita. SMN, 2010: 3), Majas Metafora ( karena itu, tua muda, kecil besar di kampung. SMN, 2010: 4), Majas Personifikasi (Sudah hampir terbenam matahari gila membual juga. SMN, 2010: 6).
·         Peribahasa ( belajar sampai ke pulau, berjalan sampai ke batas. SMN, 2010: 17), Ilmu padi kian berisi, kian merunduk. SMN, 2010: 23).
g.      Pesan/Amanat
            Pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang terlihat jelas dari judul roman tersebut yaitu “Sengsara Membawa Nikmat”,. Bahwa, dalam mengarungi sebuah kehidupan ada kalanya kita hidup  tidak lepas dari ujian, cobaan dari Allah SWT. Sebaiknya, ketika kita mendapatkan ujian atau cobaan kehidupan, kita harus bersabar dan menerimanya dengan ikhlas, karena nikmat kehidupan pasti akan kita dapatkan nantinya. Dan, janganlah kita menjadi orang yang sombong, angkuh dan suka berkuasa. Karena, kita pasti akan dibenci dan dijauhi orang. Berlatihlah hidup sabar dan menerima apa adanya, serta berjuanglah dan bekerja keras untuk mencapai kenikmatan hidup. Hingga akhirnya, kita dijauhkan dari kesengaraan hidup.

B.        Pendekatan
a.         Pendekatan Analitis
Dalam roman “Sengsara Membawa Nikmat”, terdapat beberapa unsur seperti unsur bentuk dan isi, juga unsur fakta, sarana cerita, dan tema cerita (Stanto 1965).
 Unsur fakta dalam novel ini meliputi alur, tokoh dan latar. Alur ceritanya terdiri dari 3 tahap, yaitu tahap awal saat pengarang memperkenalkan tokoh Midun sebagai utama, tokoh protagonis sedangkan Kacak sebagai tokoh antagonis dan kondisi lingkungan pada masa itu. Tahap kedua adalah pada saat Midun mulai diusik ketenangnnya oleh Kacak hingga mengakibatkan dia dipenjara di Padang dan dari sanalah Midun akan bertemu dengan Halimah. Halimah adalah gadis yang diselamatkan Midun. Tahap akhir adalah peleraian, saat dimana Midun akhirnya dapat hidup tenang dengan istrinya yaitu halimah dan seorang anaknya. Ia juga memperoleh pekerjaan yang baiik dari hasil jerih payahnya.
Dalam roman ini, terdapat banyak tokoh yang dibuat pengarang dengan berbagai karakter. Midun adalah tokoh utama, ia digambarkan sebagai seorang yang gagah, tampan, berperilaku baik dan sopan. Seperti dalam kutipan,(Midun ialah seorang muda yang baru berumur lebih kurang dari 20 tahun. Ia telah menjadi guru tua di surau. Pakaiannya yang bersih dan badannya ynag kuat, bagus, dan sehat. SMN, 2010: 3), sedangkan Kacak adalah tokoh antagonis yang benci kepada Midun. Ia digambarkan sebagai seorang yang angkuh dan sombong, kaya, berwatak buruk serta dibenci oleh masyarakat di kampungnya. Seperti yang tercantum dalam kutipan, (…Sudah padan benar nama itu dilekatkan kepadanya, karena bersesuaian dengan tingkah lakunya. Ia tinggi hati, sombong, dan congkak. Matanya juling, kemerah-merahan warnanya. Alisnya terjorok kemuka, hidungnya panjang dan bungkuk. Hal itu sudah menyatakan, bahwa ia seorang yang busuk hati. Di kampung itu ia sangat dibenci orang, karena sangat angkuhnya. Perkataanya kasar, selalu menyakitkan hati. Adapt sopan santun sedikit tak ada pada Kacak. SMN, 2010: 5).
Selain itu ada tokoh-tokoh lain seperti keluarga Midun di Minangkabau, pak Midun, ibu Juriah, maun, Kadirun, dan teman-teman Midun di Kampung, Haji Abbas, pendekar sutan, istri Kacak, tuanku Laras, Lenggang, Turigi dan teman-teman Midun di Penjara Padang, Halimah.
b.      Pendekatan Historis
Tulis Sutan Sati lahir pada tahun 1898. Dia hidup pada zaman penjajahan Jepang dan Belanda. Pada tahun 1928, pengarang melahirkan sebuah novel yang berjudul“sengsara Membawa Nikmat”. Dari novel terssebut pengarang melukiskan/menggambarkan kehidupan masyarakat Minangkabau pada saat dijajah Jepang dan Belanda tidak jauh berbeda. Ternyata kehidupan masyarakat Minangkabau pada zaman dahulu penuh dengan penderitaan. Masyarakat yang mendapat hukuman karena kesalahan yang tidak tentu dilakukan oleh masyarakat tersebut, dipaksa bekerja keras, kerja paksa (Rodi). Seperti dalam kutipan (…..mengirik ke sawah istri Kacak itu, adalah pada pikirannya sebagai menjalankan kerja rodi… SMN, 2010: 29). (…. Sehari-hari itu Midun bekerja paksa. Tak sedikit jua ia dapat berhenti melepaskan lelah.. SMN, 2010: 97. (….seakan-akan orang ia kerja paksa seharian itu. SMN, 2010: 97).Selain itu pengarang ingin menunjukkan bahwa nasib seseorang bisa berubah, jika seseorang gtersebut berusaha, sabar dan berdoa, walaupun seseorang tersebut dari kalangan bawah, yang tidak berpendidikan dan berasal dari kalangan yang tidak mampu. Seseorang tersebut dapat berpeluang menjadi orang yang sukses diemudian hari asal seseorang tersebut mau bekerj keras dan berusaha mengubah nasib hidupnya. Seperti dalam kutipan (…saya sudah berjanji dengan diri saya, dikalau saya lepas dari hukuman, akan tinggal mencari penghidupan di Padang. Kalau tak dapat di Padang, dimanapun jua, asal dapat mencari rizki untuk sesuap pagi dan sesuap petang… SMN, 2010: 127).



c.       Pendekatan Sosiopsikologis
Pengarang menggambarkan kehidupan masyarakat yang rukun dan damai, suka bergotong royong, dan tolong menolong sesuai dengan penciptaan novel ini. Terbukti ketika Midun akan mengirik sawah. Banyak masyarakat dengan suka cita membantu keluarga Midun. Hal ini disebabkan karena peragai Midun yang baik kepada siapapun. Seperti dalam yang tercantum dalam kutipan, (Sudah umum pada orang kampung itu, manakala ada pekerjaan berat suka bertolong-tolongan. Pekerjaan yang dilakukan bukan dengan upah hampir tidak ada… diseluruh tanah Minangkabu… suka bertolong-tolongan itu. Misalnya dalam hal sawah, mendirikan rumah dan pkerjaan lain. SMN, 2010: 26).
  Roman ini dibuat tahun 1928 yang kehidupan dikuasai oleh penjajah. Masyarakat dalam cerita merupakan masyarakat yang taat beragama. Mereka berpenghasilan sebagai pedagang. Kesuburan dan hasil panen yang melimpah, menjelaskan bahwa masyarakat hidup berkecukupan.
Pada masa itu, para pemuda Indonesia sedang semamgat untuk melawan penjajahan. Hal tersebut digambarkan jelas melalui tokoh Midun. Pengarang telah bergelut pada masa itu, sehingga novel ini sarat akan makna kehidupan. Pengarang tidak setuju dengan penjajahan dan kekuasaan memerintah.
Jiwa pengarang pada masa itu adalah semangat yang berkobar. Adanya pembeda antara penjabat dan rakyat dalam hukum, sehingga menimbulkan kebencian dihati pengarang. Terbukti dari semua perlakuan Kacak dan keluarga tunku Laras terhadap Midun dan masyarakat di kampung. Tetapi, kenyataannya Midun menghadpi semua perlakuan tersebut dengan sabar dan tabah.
d.      Pendekatan Didaktis
Banyak nilai yang terkandung dalam novel ini yang dapat kita pelajari dalam kehidupan sehari-hari. Dari segi agama, novel ini sangat sarat dengan nilai keagamaan. Hal tersebut tergambar pada Midun, tokoh utama dalam cerita. Dia adalah seorang yang taat dalam beribadah, pintar mengaji dan selalu mengamalkan ilmu keagamaanya. Dalam segi pendidikan, novel inni mengajarkan agar senaantiasa belajar dalam segala hal yang bersifat positif, karena akan berguna dimasa depan. Seperti Midun yang selalu mempelajari apa yang dia tidak bisa. Seperti mengaji, bersilat, berdagang dan baca tulis.
Pengarang juga mengajarkan agar senantiasa mensyukuri apa yang kita miliki dan menjalani semua cobaan dengan sabar dan ikhlas, karena kelak dibalik semua kesengsaraan itu ada kenikmatan yang menunggu. Intinya adalah novel ini sarat akan nilai-nilai rohani, nilai kehidupan, pendidikan, kinestetika dan nilai-nilai yang dapat kita contoh dalam kehidupan sehari-hari.

C.    Aliran- aliran
a.      Realisme
Adapun aliran  realisme dalam roman ini yaitu :
Seorang pemuda yang bernama Midun yang dimusuhi Kacak (seorang kemenakan tuanku Laras). Kacak yang syirik dan benci kepada Midun, selalu mencari cara untuk mengusik Midun. Kacak begitu iri dan dengki pada Midun. Kacak sangat benci pada Midun. Sering dia mencari kesempatan untuk bisa mencelakakan Midun, namun tidak pernah berhasil. Dia sering mencari gara-gara agar Midun marah padanya, namun Midun tak pernah mau menanggapinya. Midun selalu menghindar ketika diajak Kacak untuk berkelahi. Midun bukan takut kalah dalam berkelahi dengan Kacak, karena dia tidak senang berkelahi saja. Ilmu silat yang dia miliki dari hasil belajarnya pada Haji Abbas bukan untuk dipergunakan berkelahi dan mencari musuh tapi untuk membela diri dan mencari teman. Namun hingga akhirnya, karena suatu perkelahiaan yang dikepalai oleh kacak, Midun dipenjara di Padang.Dari sanalah nanti Midun berjumpa dengan tambatan hatinya yaitu Halimah. Demi menolong Halimah kabur dari cengkraman ayah tirinya, Midun membawa halimah lari ke tanah Jawa. Disana, Midun bergelut dengan nasib dan mencari pekerjaan. Perjalanan Midun di tanah Jawa, tidak pernah lepas dengan cobaan hidup yang tak usai.

b.      Idealisme
Adapun aliran idealisme dalam roman ini yaitu :
perjuangan seorang pemuda dalam menghadapi segala cobaan, pemuda itu tak pantang menyerah dan tak pernah putus asa Karena ia percaya bahwa jika selalu berusaha dan berdoa, pasti ad hikmah dan jalan keluarnya.hingga menuju sebuah kenikmatan hidup. Pemuda tersebut bernama Midun, seorang yang gagah berani, tampan, berbudi pekerti luhur, taat beribadah, dan sopan tingkah lakunya.
















Seni dan Budaya di tanah kelahiranku



Berikut ini merupakan peninggalan seni dan budaya di daerah kelahirnku yaitu kecamatan Kajuara, kabupaten Bone, provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Pendataan ini dilakukan pada tanggal 24-25 Mei 2012 bertempat di kecamatan Kajuara, kabupaten Bone.
*      Sekilas Tentang  Kajuara
Kecamatan Kajuara adalah salah satu kecamatan yang ada di kabupaten Bone bagian selatan, yang jaraknya kurang lebih 60 Km dari kota Watampone. Untuk berkunjung atau datang ke Kajuara kita melewati berbagai kecamatan-kecamatan diantaranya kecamatan Cina, kecamatan Barebbo, kecamatan Mare, kecamatan Tonra, kecamatan Salomekko dan akhirnya tiba di kecamatan Kajuara. Perjalanan yang ditempuh dari kota Watampone ke kecamatan Kajura yaitu sekitar kurang lebih satu jam, tergantung dari jenis kendaraan yang kita gunakan. Meski wilayah kecamatan Kajuara ini letak cukup jauh dari kota Watampone, tetapi warga Kajuara tidak pernah merasa kecil hati, karna jika mereka ingin menikmati suasana kota cukup menyeberang saja melalui Desa Mallahae dusun tajjuru, jalan pintas menuju Tempat pelelangan ikan sinjai, paling akrab disebut oleh warga kajuara yaitu TPI Lappa, bahkan jarak ini bisa di tempuh dengan berjalan kaki saja kurang lebih 30 menit menuju kota Sinjai, namun jika tidak ingin susah-susah berjalan kaki atau takut naik perahu yang biasa di sebut “ Lopi “ kita bisa lewat jalan poros sinjai bone yang jaraknya kurang lebih 4 Km saja, dimana Kec. Kajuara ini yang sebagian besar warganya mempunyai mata pencaharian sehari-hari adalah sebagia nelayan, petani & pegawai bahkan sebagian juga banyak yang merantau ke Malaysia, termasuk wilayah Kalimantan. Wilayah kecamatan Kajuara ini meski tergolong sebagian wilayah pesisir, tetapi kehidupan sosial masyarakatnya sudah tergolong makmur dan modern, terihat dari deretan rumah kayu dan rumah batu yang lumayan mewah di sekitar kecamatan Kajuara.
Selain hal diatas mengenai kecamatan Kajuara, terdapat pula segala macam seni budaya (kultur adat istiadat ) yang lain dan masih kental, dipertahankan oleh warga Kajuara yaitu diantaranya :
A.    Seni Arsitektur Rumah Panggung
  
Rumah bugis ( Kajuara ) memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku yang lain ( sumatera dan kalimantan ). Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan tanbahan disamping bangunan utama dan bagian depan (orang bugis- Kajuara menyebutnya lego – lego) .
Bagaimana sebenarnya arsitektur dari rumah panggung khas bugis ini ?. Berikut adalah bagian - bagiannya utamanya :
  1. Tiang utama ( alliri ). Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya. jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat. tetapi pada umumnya, terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri.
  2. Fadongko’, yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di setiap barisnya.
  3. Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari alliri paling tengah tiap barisnya.
Mengapa orang bugis suka dengan arsitektur rumah yang memiliki kolong ? Konon, orang bugis, jauh sebelum islam masuk ke tanah bugis ( tana ugi’ ), orang bugis memiliki kepercayaan bahwa alam semesta ini terdiri atas 3 bagian, bagian atas ( botting langi ), bagian tengah ( alang tengnga ) dan bagian bawagh ( paratiwi ). Sebenarnya faktor keamanan dan kenyamanan. Aman, karena ular tidak dapat naik ke atas ( rumahku di kampung tingginya 2 meter dari tanah ). Nyaman, karena angin bertiup sepoi-sepoi, meskipun udara panas..
Bagian - bagian dari rumah bugis ini sebagai berikut :
  1. Rakkeang, adalah bagian diatas langit - langit ( eternit ). Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi yang baru di panen.
  2. Ale Bola, adalah bagian tengah rumah. dimana kita tinggal. Pada ale bola ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah ( passi’ bola ).
  3. Awa bola, adalah bagian di bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah.
Yang lebih menarik sebenarnya dari rumah bugis ini adalah bahwa rumah ini dapat berdiri bahkan tanpa perlu satu paku pun. Semuanya murni menggunakan kayu. Dan uniknya lagi adalah rumah ini dapat di angkat / dipindah.
Nara Sumber : Kepala Desa Tarasu, kecamatan Kajuara ( Bapak Agus )



B.     Sastra Orang Bone (Kajuara)
                                 aksara bugis
Bahasa yang digunakan di kecamatan Kajuara yaitu pada umumnya menggunakan bahasa bugis bone. Masyarakat bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara Lontara. Pada dasarnya, suku kaum ini kebanyakannya beragama Islam Dari segi aspek budaya, suku kaum Bugis menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai ‘Bahasa Ugi’ dan mempunyai tulisan huruf bugis yang dipanggil ‘aksara’ Bugis. Aksara ini telah wujud sejak abad ke-12 lagi sewaktu melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia. Namun sering kali juga di dapat di daerah  Kajuara orang atau masyarakatnya menggunakan bahasa atau dialek sehari-hari yang ditemukan persamaan dengan kabupaten Sinjai, hal ini dikarenakan faktor  kedekatannya dengan kabupaten tersebut. Oleh karena itu, jika berkunjung ke kecamatan Kajuara, jangan heran dengan dialek maupun bahasa yang di gunakan oleh masyarakatnya.
Narasumber : Masyarakat Kajuara, desa Tarasu ( Talibe )
C.    Seni Musik Tradisional
Gambus merupakan alat musik petik berdawai yang dikenal di daerah Sulawesi selatan, khusunya kabupaten Bone, kecamatan Kajuara.
Instrumen gambus awalnya berasal dari Arabia. Namun semakin menjalar lagi ke Eropa dan dalam bayangan orang Eropa, bentuk alat gambus menyerupai buah khas negeri mereka, yaitu buah peer sedangkan di Indonesia dapat dibayangkan hampir sama dengan bentuk jambu mentega.
 
Asal mula masuknya musik dan alat musik gambus ke daerah-daerah di Indonesia khususnya ke daerah kecamatan Kajuara, kabupaten Bone, bersamaan dengan masuknya pengaruh Islam ke daerah yang bersangkutan, sehingga warna musiknya pun bernafaskan Islam dengan syair berbahasa Arab. Dalam perkembangannya, musik gambus juga diperkaya dengan syair berbahasa Melayu dan India di samping juga membawakan lagu-lagu daerah dengan berbagai ragam variasi dalam jumlah kelengkapan alat musiknya. Akhimya, tidak jarang kita menemukan di pelosok-pelosok, sebuah orkes kecil mempergunakan instrumen bernama gambus, atau tiruan dari gambus dengan lagu-lagu dalam bahasa daerah seperti halnya di daerah Kajuara.
Meskipun memiliki banyak variasi, namun tanpa melupakan alat gambusnya dan tanpa menghilangkan warna nada Timur Tengahnya. Alat musik gambus di daerah Kajuara, dimainkan dengan cara dipetik (seperti gitar) dan biasanya pemain gambus juga merangkap sebagai penyanyi. Alat musik gambus terbuat dari kayu, paling sedikit gambus dipasangi 3 senar sampai paling banyak 12 senar.
Selain Gambus, Ada pula alat musik tradisional bugis Bone, khususnya Kajuara yaitu alat musik kacapi.
Salah satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis, Bugis Makassar dan Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang memiliki dua dawai, diambil karena penemuannya dari tali layar perahu. Biasanya ditampilkan pada acara penjemputan para tamu, perkawinan, hajatan, bahkan hiburan pada hari ulang tahun.
Narasumber : Kepala Desa Pude ( Andi Amir )
D.    Seni Tari
Tari Bosara adalah tari perjamuan tamu kerajaan/kebesaran daerah Sulawesi Selatan yang sudah di kreasi. Tari bosara juga merupakan suatu tarian yang dapat menghibur dan memperkenalkan pakaian dan kebesaran adat istiadat daerah sulawesi selatan pada umumnya. Selain itu, Tarian ini juga mengambarkan bahwa orang Bugis jika kedatangan tamu senantiasa menghidangkan bosara, sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan. Tarian ini dibawakan oleh sanggar seni dan budaya Tari Bosara, selain itu tarian ini merupakan tarian untuk menyambut para tamu terhormat di perkawinan. Gerakan-gerakan badan sangat luwes dan lincah dalam melakukan gerakan tari ini.
Narasumber : Petuah adat desa Tarasu, kecamatan Kajuara ( Nenek Hasnah)
E.     Seni Rupa Badik Lagecong
1.      Badik
Badik atau badek adalah pisau dengan bentuk khas yang dikembangkan oleh masyarakat Bugis. Badik bersisi tajam tunggal atau ganda. Seperti keris, bentuknya asimetris dan bilahnya kerap kali dihiasi dengan pamor. Namun demikian, berbeda dari keris, badik tidak pernah memiliki ganja (penyangga bilah).
Badik ini merupakan senjata khas tradisonal Bugis yang berada dikepulauan Sulawesi. Ukurannya yang pendek dan mudah dibawa kemana-mana, tapi jangan salah lho kalau badik ini sudah keluar dari sarungnya pantang untuk dimasukkan sebelum meminum darah.
Maka biasanya senjata adat yang bernama Badik ini dahulu sering dipakai oleh kalangan petani untuk melindungi dirinya dari binatang melata dan atau membunuh hewan hutan yang mengganggu tanamannya. Selain itu karena orang bugis gemar merantau maka penyematan badik dipinggangnya membuat dia merasa terlindungi.
Badik memiliki bentuk dan sebutan yang berbeda-beda tergantung dari daerah mana ia berasal. Di Makassar badik dikenal dengan nama badik sari yang memiliki kale (bilah) yang pipih, batang (perut) buncit dan tajam serta cappa dan banong (sarung badik). Sementara itu badik Bugis disebut kawali, seperti kawali raja (Bone) dan kawali rangkong (Luwu). Kawali Bone terdiri dari bessi (bilah) yang pipih, bagian ujung agak melebar serta runcing. Sedangkan kawali Luwu terdiri dari bessi yang pipih dan berbentuk lurus. Kawali memiliki bagian bagian: Pangulu (ulu), bessi (bilah) dan wanoa (sarung)
Umumnya badik digunakan untuk membela diri dalam mempertahankan harga diri seseorang atau keluarga. Hal ini didasarkan pada budaya siri’ dengan makna untuk mempertahankan martabat suatu keluarga. Konsep siri’ ini sudah menyatu dalam tingkah laku, sistem sosial budaya dan cara berpikir masyarakat Bugis, di Sulawesi Selatan. Selain daripada itu ada pula badik yang berfungsi sebagai benda pusaka, seperti badik saroso yang memiliki nilai sejarah. Ada pula sebagian orang yang meyakini bahwa badik berguna sebagai azimat yang berpengaruh pada nilai baik dan buruk seseorang.
Badik lagecong,, Badik bugis satu ini dikenal sebagai badik perang, banyak orang mencarinya karna sangat begitu terkenal dengan mosonya (racunnya), banyak orang percaya bahwa semua alat perang akan tunduk pada badik gecong tersebut.,
Ada dua versi yang pertama Gecong di ambil nama dari nama sang pandre (empu) yang bernama la gecong, yang kedua diambil dari bahasa bugis gecong atau geco” yang bisa diartikan sekali geco” (sentuh) langsung mati. Sampai saat ini banyak yang percaya kalau gecong yang asli adalah gecong yang terbuat dari daun nipah serta terapung di air dan melawan arus,, wallahu alam.. Panjang gecong biasanya sejengkalan orang dewasa, pamor lonjo,, bentuknya lebih pipih,tipis tapi kuat.
Narasumber : Masyarakat desa Tarasu, kecamatan Kajuara ( Ambo Sakka )
2.      Patung Arung Palakka
Pada awalnya Bone merupakan daerah taklukan Kerajaan Gowa. VOC kemudian bersekutu dengan seorang pangeran Bugis (Bone) bernama Arung Palakka yang hidup dalam pengasingan setelah jatuhnya Bone di bawah kekuasaan Gowa. Belanda kemudian mensponsori Palakka kembali ke Bone, sekaligus menghidupkan perlawanan masyarakat Bone dan Sopeng untuk melawan kekuasaan Gowa. Setelah berperang selama setahun, Kerajaan Gowa berhasil dikalahkan. Raja Gowa, Sultan Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bungaya yang sangat mengurangi kekuasaan Gowa, dan kemudian Bone di bawah Arung Palakka menjadi penguasa di Sulawesi Selatan. Saat ini, di pusat Kota Bone berdiri patung Arung Palakka.
Narasumber : Masyarakat kabupaten Bone
F.     Upacara Adat Pernikahan
Tahap – tahap dalam upacara adat pernikahan di Kajuara, yaitu:
1. Lettu ( lamaran)
ialah kunjungan keluarga si laki-laki ke calon mempelai perempuan untuk menyampaikan keinginan nya untuk melamar calon mempelai perempuan
2. Mappettuada. (kesepakatan pernikahan)
Ialah kunjungan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan untuk membicarakan waktu pernikahan,jenis sunrang atau mas kawin,balanja atau belanja perkawinan penyelanggaran pesta dan sebagainya

3. Madduppa (Mengundang)
Ialah kegiatan yang dilakukan setelah tercapainya kesepakayan antar kedua bilah pihak untuk memberi tahu kepada semua kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan dilaksanakan.
4.   Mappate’ doi atau mette (Memberikan mas kawin yang telah disepakati)
Ialah rombongan pria mendatangi rumah wanita dengan membawa mas kawin yang telah disepakati antara keduanya.
 

 
5. Mappaccing (Pembersihan)
Mappaccing ialah ritual yang dilakukan masyarakat bugis (Biasanya hanya dilakukan oleh kaum bangsawan), Ritrual ini dilakukan pada malam sebelum akad nikah di mulai, dengan mengundang para kerabat dekat sesepuh dan orang yang dihormati untuk melaksanakan ritual ini, cara pelaksanaan nya dengan menggunakan daun pacci (daun pacar), kemudian para undangan di persilahkan untuk memberi berkah dan doa restu kepada calon mempelai, konon bertujuan untuk membersihkan dosa calon mempelai, dilanjutkan dengan sungkeman kepada kedua orang tua calon mempelai.
Biasanya pula diadakan Barazanji yang bertujuan  sebagai pernyataan syukur kepada Allah SWT dan sanjungan kepada Nabiyullah Muhammad SAW atas nikmat Islam dengan membaca shalawat Nabi. Kemudian setelah itu, dilanjut dengan mappanre temme’ atau biasa dikenal dengan penamatan al-Qur’an.
Hari pernikahan dimulai dengan prosesi dari mempelai laki-laki disertai rombongan dari kaum kerabat, pria-wanita, tua-muda, dengan membawa macam-macam makanan, pakaian wanita, dan mas-kawin ke rumah mempelai wanita.
 
Sampai di rumah mempelai wanita langsung diadakan upacara pernikahan,dilanjutkan dengan akad nikah setelah itu ada suatu kegiatan yang bernama mappassiluka antar mempelai wanita dengan mempelai cowok yang dipimpin oleh seorang yang mengerti tentang kegiatan tersebut.
Pada pesta itu biasa para tamu memberikan kado tau paksolo’. setelah akad nikah dan pesta pernikahan di rumah mempelai wanita selesai dilalanjutkan dengan acara “mapparola” yaitu mengantar mempelai wanita ke rumah mempelai laki-laki untuk bersilaturahmi dengan memberikan sesuatu yang biasanya sarung hal ini biasa disebut dengan mammatua.sebagai simbol perkenalan terhadap keluarga baru. Setelah itu, baru kedua mempelai menempati rumah mereka sendiri yang disebut nalaoanni alena.
Narasumber : Masyarakat desa Tarasu, kecamatan Kajuara ( Nenek Fatimang )Narasumber: Ambo’ Sakka