Berikut ini merupakan peninggalan seni
dan budaya di daerah kelahirnku yaitu kecamatan Kajuara, kabupaten Bone, provinsi
Sulawesi Selatan, Indonesia. Pendataan ini dilakukan pada tanggal 24-25 Mei
2012 bertempat di kecamatan Kajuara, kabupaten Bone.
Sekilas
Tentang Kajuara
Kecamatan Kajuara adalah salah satu
kecamatan yang ada di kabupaten Bone bagian selatan, yang jaraknya kurang lebih
60 Km dari kota Watampone. Untuk berkunjung atau datang ke Kajuara kita
melewati berbagai kecamatan-kecamatan diantaranya kecamatan Cina, kecamatan
Barebbo, kecamatan Mare, kecamatan Tonra, kecamatan Salomekko dan akhirnya tiba
di kecamatan Kajuara. Perjalanan yang ditempuh dari kota Watampone ke kecamatan
Kajura yaitu sekitar kurang lebih satu jam, tergantung dari jenis kendaraan
yang kita gunakan. Meski wilayah kecamatan Kajuara ini letak cukup jauh dari
kota Watampone, tetapi warga Kajuara tidak pernah merasa kecil hati, karna jika
mereka ingin menikmati suasana kota cukup menyeberang saja melalui Desa
Mallahae dusun tajjuru, jalan pintas menuju Tempat pelelangan ikan sinjai,
paling akrab disebut oleh warga kajuara yaitu TPI Lappa, bahkan jarak ini bisa
di tempuh dengan berjalan kaki saja kurang lebih 30 menit menuju kota Sinjai,
namun jika tidak ingin susah-susah berjalan kaki atau takut naik perahu yang
biasa di sebut “ Lopi “ kita bisa lewat jalan poros sinjai bone yang jaraknya
kurang lebih 4 Km saja, dimana Kec. Kajuara ini yang sebagian besar warganya
mempunyai mata pencaharian sehari-hari adalah sebagia nelayan, petani &
pegawai bahkan sebagian juga banyak yang merantau ke Malaysia, termasuk wilayah
Kalimantan. Wilayah kecamatan Kajuara ini meski tergolong sebagian wilayah pesisir,
tetapi kehidupan sosial masyarakatnya sudah tergolong makmur dan modern,
terihat dari deretan rumah kayu dan rumah batu yang lumayan mewah di sekitar kecamatan
Kajuara.
Selain hal diatas mengenai kecamatan
Kajuara, terdapat pula segala macam seni budaya (kultur adat istiadat ) yang
lain dan masih kental, dipertahankan oleh warga Kajuara yaitu diantaranya :
A. Seni Arsitektur Rumah Panggung
Rumah bugis ( Kajuara
) memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku
yang lain ( sumatera dan kalimantan ). Bentuknya biasanya memanjang ke
belakang, dengan tanbahan disamping bangunan utama dan bagian depan (orang
bugis- Kajuara menyebutnya lego – lego) .
Bagaimana sebenarnya
arsitektur dari rumah panggung khas bugis ini ?. Berikut adalah bagian -
bagiannya utamanya :
- Tiang utama ( alliri ). Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya. jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat. tetapi pada umumnya, terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri.
- Fadongko’, yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di setiap barisnya.
- Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari alliri paling tengah tiap barisnya.
Mengapa orang bugis
suka dengan arsitektur rumah yang memiliki kolong ? Konon, orang bugis, jauh
sebelum islam masuk ke tanah bugis ( tana ugi’ ), orang bugis memiliki
kepercayaan bahwa alam semesta ini terdiri atas 3 bagian, bagian atas ( botting
langi ), bagian tengah ( alang tengnga ) dan bagian bawagh ( paratiwi ).
Sebenarnya faktor keamanan dan kenyamanan. Aman, karena ular tidak dapat naik
ke atas ( rumahku di kampung tingginya 2 meter dari tanah ). Nyaman, karena
angin bertiup sepoi-sepoi, meskipun udara panas..
Bagian - bagian dari
rumah bugis ini sebagai berikut :
- Rakkeang, adalah bagian diatas langit - langit ( eternit ). Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi yang baru di panen.
- Ale Bola, adalah bagian tengah rumah. dimana kita tinggal. Pada ale bola ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah ( passi’ bola ).
- Awa bola, adalah bagian di bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah.
Yang lebih menarik
sebenarnya dari rumah bugis ini adalah bahwa rumah ini dapat berdiri bahkan
tanpa perlu satu paku pun. Semuanya murni menggunakan kayu. Dan uniknya lagi
adalah rumah ini dapat di angkat / dipindah.
Nara Sumber : Kepala
Desa Tarasu, kecamatan Kajuara ( Bapak Agus )
B.
Sastra Orang Bone (Kajuara)
aksara bugis
Bahasa yang digunakan di kecamatan Kajuara yaitu pada
umumnya menggunakan bahasa bugis bone. Masyarakat bugis memiliki penulisan
tradisional memakai aksara Lontara. Pada dasarnya, suku kaum ini kebanyakannya
beragama Islam Dari segi aspek budaya, suku kaum Bugis menggunakan dialek
sendiri dikenali sebagai ‘Bahasa Ugi’ dan mempunyai tulisan huruf bugis yang
dipanggil ‘aksara’ Bugis. Aksara ini telah wujud sejak abad ke-12 lagi sewaktu
melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia. Namun sering kali juga di
dapat di daerah Kajuara orang atau
masyarakatnya menggunakan bahasa atau dialek sehari-hari yang ditemukan
persamaan dengan kabupaten Sinjai, hal ini dikarenakan faktor kedekatannya dengan kabupaten tersebut. Oleh
karena itu, jika berkunjung ke kecamatan Kajuara, jangan heran dengan dialek maupun
bahasa yang di gunakan oleh masyarakatnya.
Narasumber
: Masyarakat Kajuara, desa Tarasu ( Talibe )
C. Seni Musik Tradisional
Gambus merupakan alat musik petik berdawai
yang dikenal di daerah Sulawesi selatan, khusunya kabupaten Bone, kecamatan
Kajuara.
Instrumen gambus awalnya berasal dari Arabia. Namun
semakin menjalar lagi ke Eropa dan dalam bayangan orang Eropa, bentuk alat
gambus menyerupai buah khas negeri mereka, yaitu buah peer sedangkan di
Indonesia dapat dibayangkan hampir sama dengan bentuk jambu mentega.
Asal mula masuknya musik dan alat musik gambus ke
daerah-daerah di Indonesia khususnya ke daerah kecamatan Kajuara, kabupaten
Bone, bersamaan dengan masuknya pengaruh Islam ke daerah yang bersangkutan,
sehingga warna musiknya pun bernafaskan Islam dengan syair berbahasa Arab.
Dalam perkembangannya, musik gambus juga diperkaya dengan syair
berbahasa Melayu dan India di samping juga membawakan lagu-lagu daerah dengan
berbagai ragam variasi dalam jumlah kelengkapan alat musiknya. Akhimya, tidak
jarang kita menemukan di pelosok-pelosok, sebuah orkes kecil mempergunakan
instrumen bernama gambus, atau tiruan dari gambus dengan lagu-lagu dalam
bahasa daerah seperti halnya di daerah Kajuara.
Meskipun memiliki banyak variasi, namun tanpa melupakan alat
gambusnya dan tanpa menghilangkan warna nada Timur Tengahnya. Alat musik
gambus di daerah Kajuara, dimainkan dengan cara dipetik (seperti gitar)
dan biasanya pemain gambus juga merangkap sebagai penyanyi. Alat musik gambus
terbuat dari kayu, paling sedikit gambus dipasangi 3 senar sampai paling banyak 12 senar.
Selain Gambus, Ada pula alat musik
tradisional bugis Bone, khususnya Kajuara yaitu alat musik kacapi.
Salah satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan
khususnya suku Bugis, Bugis Makassar dan Bugis Mandar. Menurut sejarahnya
kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga bentuknya
menyerupai perahu yang memiliki dua dawai, diambil karena penemuannya dari tali
layar perahu. Biasanya ditampilkan pada acara penjemputan para tamu,
perkawinan, hajatan, bahkan hiburan pada hari ulang tahun.
Narasumber :
Kepala Desa Pude ( Andi Amir )
D.
Seni Tari
Tari Bosara
adalah tari perjamuan tamu kerajaan/kebesaran daerah Sulawesi Selatan yang
sudah di kreasi. Tari bosara juga merupakan suatu tarian yang dapat menghibur
dan memperkenalkan pakaian dan kebesaran adat istiadat daerah sulawesi selatan
pada umumnya. Selain itu, Tarian ini juga mengambarkan bahwa orang Bugis jika
kedatangan tamu senantiasa menghidangkan bosara, sebagai tanda kesyukuran dan
kehormatan. Tarian ini dibawakan oleh sanggar seni dan budaya Tari Bosara,
selain itu tarian ini merupakan tarian untuk menyambut para tamu terhormat di
perkawinan. Gerakan-gerakan badan sangat luwes dan lincah dalam melakukan
gerakan tari ini.
Narasumber : Petuah adat desa Tarasu,
kecamatan Kajuara ( Nenek Hasnah)
E. Seni Rupa Badik Lagecong
1. Badik
Badik atau badek adalah
pisau dengan bentuk khas yang dikembangkan oleh masyarakat Bugis.
Badik bersisi tajam tunggal atau ganda. Seperti keris, bentuknya asimetris dan
bilahnya kerap kali dihiasi dengan pamor. Namun demikian, berbeda dari keris,
badik tidak pernah memiliki ganja (penyangga bilah).
Badik ini merupakan senjata khas tradisonal Bugis yang berada dikepulauan Sulawesi. Ukurannya yang pendek dan mudah dibawa kemana-mana, tapi jangan salah lho kalau badik ini sudah keluar dari sarungnya pantang untuk dimasukkan sebelum meminum darah.
Badik ini merupakan senjata khas tradisonal Bugis yang berada dikepulauan Sulawesi. Ukurannya yang pendek dan mudah dibawa kemana-mana, tapi jangan salah lho kalau badik ini sudah keluar dari sarungnya pantang untuk dimasukkan sebelum meminum darah.
Maka biasanya
senjata adat yang bernama Badik ini dahulu sering dipakai oleh kalangan petani
untuk melindungi dirinya dari binatang melata dan atau membunuh hewan hutan
yang mengganggu tanamannya. Selain itu karena orang bugis gemar merantau maka
penyematan badik dipinggangnya membuat dia merasa terlindungi.
Badik memiliki
bentuk dan sebutan yang berbeda-beda tergantung dari daerah mana ia berasal. Di
Makassar badik dikenal dengan nama badik sari yang memiliki kale (bilah) yang
pipih, batang (perut) buncit dan tajam serta cappa dan banong (sarung badik).
Sementara itu badik Bugis disebut kawali, seperti kawali raja (Bone) dan kawali
rangkong (Luwu). Kawali Bone terdiri dari bessi (bilah) yang pipih, bagian
ujung agak melebar serta runcing. Sedangkan kawali Luwu terdiri dari bessi yang
pipih dan berbentuk lurus. Kawali memiliki bagian bagian: Pangulu (ulu), bessi
(bilah) dan wanoa (sarung)
Umumnya badik
digunakan untuk membela diri dalam mempertahankan harga diri seseorang atau
keluarga. Hal ini didasarkan pada budaya siri’ dengan makna untuk mempertahankan
martabat suatu keluarga. Konsep siri’ ini sudah menyatu dalam tingkah laku,
sistem sosial budaya dan cara berpikir masyarakat Bugis, di Sulawesi Selatan.
Selain daripada itu ada pula badik yang berfungsi sebagai benda pusaka, seperti
badik saroso yang memiliki nilai sejarah. Ada pula sebagian orang yang meyakini
bahwa badik berguna sebagai azimat yang berpengaruh pada nilai baik dan buruk
seseorang.
Badik
lagecong,, Badik bugis satu ini dikenal sebagai badik perang, banyak orang
mencarinya karna sangat begitu terkenal dengan mosonya (racunnya), banyak orang
percaya bahwa semua alat perang akan tunduk pada badik gecong tersebut.,
Ada dua versi yang pertama Gecong di ambil nama dari nama sang pandre (empu) yang bernama la gecong, yang kedua diambil dari bahasa bugis gecong atau geco” yang bisa diartikan sekali geco” (sentuh) langsung mati. Sampai saat ini banyak yang percaya kalau gecong yang asli adalah gecong yang terbuat dari daun nipah serta terapung di air dan melawan arus,, wallahu alam.. Panjang gecong biasanya sejengkalan orang dewasa, pamor lonjo,, bentuknya lebih pipih,tipis tapi kuat.
Ada dua versi yang pertama Gecong di ambil nama dari nama sang pandre (empu) yang bernama la gecong, yang kedua diambil dari bahasa bugis gecong atau geco” yang bisa diartikan sekali geco” (sentuh) langsung mati. Sampai saat ini banyak yang percaya kalau gecong yang asli adalah gecong yang terbuat dari daun nipah serta terapung di air dan melawan arus,, wallahu alam.. Panjang gecong biasanya sejengkalan orang dewasa, pamor lonjo,, bentuknya lebih pipih,tipis tapi kuat.
Narasumber
: Masyarakat desa Tarasu, kecamatan Kajuara ( Ambo Sakka )
2.
Patung
Arung Palakka
Pada awalnya
Bone merupakan daerah taklukan Kerajaan Gowa. VOC kemudian bersekutu dengan
seorang pangeran Bugis (Bone) bernama Arung Palakka yang hidup dalam
pengasingan setelah jatuhnya Bone di bawah kekuasaan Gowa. Belanda kemudian
mensponsori Palakka kembali ke Bone, sekaligus menghidupkan perlawanan
masyarakat Bone dan Sopeng untuk melawan kekuasaan Gowa. Setelah berperang
selama setahun, Kerajaan Gowa berhasil dikalahkan. Raja Gowa, Sultan Hasanuddin
dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bungaya yang sangat mengurangi
kekuasaan Gowa, dan kemudian Bone di bawah Arung Palakka menjadi penguasa di
Sulawesi Selatan. Saat ini, di pusat Kota Bone berdiri patung Arung Palakka.
Narasumber :
Masyarakat kabupaten Bone
F.
Upacara Adat Pernikahan
Tahap
– tahap dalam upacara adat pernikahan di Kajuara, yaitu:
1. Lettu ( lamaran)
ialah kunjungan keluarga si laki-laki ke calon mempelai perempuan untuk menyampaikan keinginan nya untuk melamar calon mempelai perempuan
2. Mappettuada. (kesepakatan pernikahan)
Ialah kunjungan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan untuk membicarakan waktu pernikahan,jenis sunrang atau mas kawin,balanja atau belanja perkawinan penyelanggaran pesta dan sebagainya
1. Lettu ( lamaran)
ialah kunjungan keluarga si laki-laki ke calon mempelai perempuan untuk menyampaikan keinginan nya untuk melamar calon mempelai perempuan
2. Mappettuada. (kesepakatan pernikahan)
Ialah kunjungan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan untuk membicarakan waktu pernikahan,jenis sunrang atau mas kawin,balanja atau belanja perkawinan penyelanggaran pesta dan sebagainya
3. Madduppa (Mengundang)
Ialah kegiatan yang dilakukan setelah tercapainya kesepakayan antar kedua bilah pihak untuk memberi tahu kepada semua kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan dilaksanakan.
4.
Mappate’
doi atau mette (Memberikan mas kawin yang telah disepakati)
Ialah rombongan pria mendatangi
rumah wanita dengan membawa mas kawin yang telah disepakati antara keduanya.
5.
Mappaccing (Pembersihan)
Mappaccing ialah ritual yang dilakukan masyarakat bugis
(Biasanya hanya dilakukan oleh kaum bangsawan), Ritrual ini dilakukan pada
malam sebelum akad nikah di mulai, dengan mengundang para kerabat dekat sesepuh
dan orang yang dihormati untuk melaksanakan ritual ini, cara pelaksanaan nya
dengan menggunakan daun pacci (daun pacar), kemudian para undangan di
persilahkan untuk memberi berkah dan doa restu kepada calon mempelai, konon
bertujuan untuk membersihkan dosa calon mempelai, dilanjutkan dengan sungkeman
kepada kedua orang tua calon mempelai.
Biasanya pula diadakan Barazanji
yang bertujuan sebagai pernyataan syukur
kepada Allah SWT dan sanjungan kepada Nabiyullah Muhammad SAW atas nikmat Islam
dengan membaca shalawat Nabi. Kemudian setelah itu, dilanjut dengan mappanre
temme’ atau biasa dikenal dengan penamatan al-Qur’an.
Hari pernikahan dimulai dengan
prosesi dari mempelai laki-laki disertai rombongan dari kaum kerabat,
pria-wanita, tua-muda, dengan membawa macam-macam makanan, pakaian wanita, dan
mas-kawin ke rumah mempelai wanita.
Sampai di rumah mempelai wanita
langsung diadakan upacara pernikahan,dilanjutkan dengan akad nikah setelah itu
ada suatu kegiatan yang bernama mappassiluka antar mempelai wanita dengan mempelai
cowok yang dipimpin oleh seorang yang mengerti tentang kegiatan tersebut.
Pada pesta itu biasa para tamu
memberikan kado tau paksolo’. setelah akad nikah dan pesta pernikahan di rumah
mempelai wanita selesai dilalanjutkan dengan acara “mapparola” yaitu mengantar
mempelai wanita ke rumah mempelai laki-laki untuk bersilaturahmi dengan
memberikan sesuatu yang biasanya sarung hal ini biasa disebut dengan mammatua.sebagai
simbol perkenalan terhadap keluarga baru. Setelah itu, baru kedua mempelai
menempati rumah mereka sendiri yang disebut nalaoanni alena.
Narasumber
: Masyarakat desa Tarasu, kecamatan Kajuara ( Nenek Fatimang )
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking