Donderdag 23 Mei 2013

Seni dan Budaya di tanah kelahiranku



Berikut ini merupakan peninggalan seni dan budaya di daerah kelahirnku yaitu kecamatan Kajuara, kabupaten Bone, provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Pendataan ini dilakukan pada tanggal 24-25 Mei 2012 bertempat di kecamatan Kajuara, kabupaten Bone.
*      Sekilas Tentang  Kajuara
Kecamatan Kajuara adalah salah satu kecamatan yang ada di kabupaten Bone bagian selatan, yang jaraknya kurang lebih 60 Km dari kota Watampone. Untuk berkunjung atau datang ke Kajuara kita melewati berbagai kecamatan-kecamatan diantaranya kecamatan Cina, kecamatan Barebbo, kecamatan Mare, kecamatan Tonra, kecamatan Salomekko dan akhirnya tiba di kecamatan Kajuara. Perjalanan yang ditempuh dari kota Watampone ke kecamatan Kajura yaitu sekitar kurang lebih satu jam, tergantung dari jenis kendaraan yang kita gunakan. Meski wilayah kecamatan Kajuara ini letak cukup jauh dari kota Watampone, tetapi warga Kajuara tidak pernah merasa kecil hati, karna jika mereka ingin menikmati suasana kota cukup menyeberang saja melalui Desa Mallahae dusun tajjuru, jalan pintas menuju Tempat pelelangan ikan sinjai, paling akrab disebut oleh warga kajuara yaitu TPI Lappa, bahkan jarak ini bisa di tempuh dengan berjalan kaki saja kurang lebih 30 menit menuju kota Sinjai, namun jika tidak ingin susah-susah berjalan kaki atau takut naik perahu yang biasa di sebut “ Lopi “ kita bisa lewat jalan poros sinjai bone yang jaraknya kurang lebih 4 Km saja, dimana Kec. Kajuara ini yang sebagian besar warganya mempunyai mata pencaharian sehari-hari adalah sebagia nelayan, petani & pegawai bahkan sebagian juga banyak yang merantau ke Malaysia, termasuk wilayah Kalimantan. Wilayah kecamatan Kajuara ini meski tergolong sebagian wilayah pesisir, tetapi kehidupan sosial masyarakatnya sudah tergolong makmur dan modern, terihat dari deretan rumah kayu dan rumah batu yang lumayan mewah di sekitar kecamatan Kajuara.
Selain hal diatas mengenai kecamatan Kajuara, terdapat pula segala macam seni budaya (kultur adat istiadat ) yang lain dan masih kental, dipertahankan oleh warga Kajuara yaitu diantaranya :
A.    Seni Arsitektur Rumah Panggung
  
Rumah bugis ( Kajuara ) memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku yang lain ( sumatera dan kalimantan ). Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan tanbahan disamping bangunan utama dan bagian depan (orang bugis- Kajuara menyebutnya lego – lego) .
Bagaimana sebenarnya arsitektur dari rumah panggung khas bugis ini ?. Berikut adalah bagian - bagiannya utamanya :
  1. Tiang utama ( alliri ). Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya. jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat. tetapi pada umumnya, terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri.
  2. Fadongko’, yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di setiap barisnya.
  3. Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari alliri paling tengah tiap barisnya.
Mengapa orang bugis suka dengan arsitektur rumah yang memiliki kolong ? Konon, orang bugis, jauh sebelum islam masuk ke tanah bugis ( tana ugi’ ), orang bugis memiliki kepercayaan bahwa alam semesta ini terdiri atas 3 bagian, bagian atas ( botting langi ), bagian tengah ( alang tengnga ) dan bagian bawagh ( paratiwi ). Sebenarnya faktor keamanan dan kenyamanan. Aman, karena ular tidak dapat naik ke atas ( rumahku di kampung tingginya 2 meter dari tanah ). Nyaman, karena angin bertiup sepoi-sepoi, meskipun udara panas..
Bagian - bagian dari rumah bugis ini sebagai berikut :
  1. Rakkeang, adalah bagian diatas langit - langit ( eternit ). Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi yang baru di panen.
  2. Ale Bola, adalah bagian tengah rumah. dimana kita tinggal. Pada ale bola ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah ( passi’ bola ).
  3. Awa bola, adalah bagian di bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah.
Yang lebih menarik sebenarnya dari rumah bugis ini adalah bahwa rumah ini dapat berdiri bahkan tanpa perlu satu paku pun. Semuanya murni menggunakan kayu. Dan uniknya lagi adalah rumah ini dapat di angkat / dipindah.
Nara Sumber : Kepala Desa Tarasu, kecamatan Kajuara ( Bapak Agus )



B.     Sastra Orang Bone (Kajuara)
                                 aksara bugis
Bahasa yang digunakan di kecamatan Kajuara yaitu pada umumnya menggunakan bahasa bugis bone. Masyarakat bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara Lontara. Pada dasarnya, suku kaum ini kebanyakannya beragama Islam Dari segi aspek budaya, suku kaum Bugis menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai ‘Bahasa Ugi’ dan mempunyai tulisan huruf bugis yang dipanggil ‘aksara’ Bugis. Aksara ini telah wujud sejak abad ke-12 lagi sewaktu melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia. Namun sering kali juga di dapat di daerah  Kajuara orang atau masyarakatnya menggunakan bahasa atau dialek sehari-hari yang ditemukan persamaan dengan kabupaten Sinjai, hal ini dikarenakan faktor  kedekatannya dengan kabupaten tersebut. Oleh karena itu, jika berkunjung ke kecamatan Kajuara, jangan heran dengan dialek maupun bahasa yang di gunakan oleh masyarakatnya.
Narasumber : Masyarakat Kajuara, desa Tarasu ( Talibe )
C.    Seni Musik Tradisional
Gambus merupakan alat musik petik berdawai yang dikenal di daerah Sulawesi selatan, khusunya kabupaten Bone, kecamatan Kajuara.
Instrumen gambus awalnya berasal dari Arabia. Namun semakin menjalar lagi ke Eropa dan dalam bayangan orang Eropa, bentuk alat gambus menyerupai buah khas negeri mereka, yaitu buah peer sedangkan di Indonesia dapat dibayangkan hampir sama dengan bentuk jambu mentega.
 
Asal mula masuknya musik dan alat musik gambus ke daerah-daerah di Indonesia khususnya ke daerah kecamatan Kajuara, kabupaten Bone, bersamaan dengan masuknya pengaruh Islam ke daerah yang bersangkutan, sehingga warna musiknya pun bernafaskan Islam dengan syair berbahasa Arab. Dalam perkembangannya, musik gambus juga diperkaya dengan syair berbahasa Melayu dan India di samping juga membawakan lagu-lagu daerah dengan berbagai ragam variasi dalam jumlah kelengkapan alat musiknya. Akhimya, tidak jarang kita menemukan di pelosok-pelosok, sebuah orkes kecil mempergunakan instrumen bernama gambus, atau tiruan dari gambus dengan lagu-lagu dalam bahasa daerah seperti halnya di daerah Kajuara.
Meskipun memiliki banyak variasi, namun tanpa melupakan alat gambusnya dan tanpa menghilangkan warna nada Timur Tengahnya. Alat musik gambus di daerah Kajuara, dimainkan dengan cara dipetik (seperti gitar) dan biasanya pemain gambus juga merangkap sebagai penyanyi. Alat musik gambus terbuat dari kayu, paling sedikit gambus dipasangi 3 senar sampai paling banyak 12 senar.
Selain Gambus, Ada pula alat musik tradisional bugis Bone, khususnya Kajuara yaitu alat musik kacapi.
Salah satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis, Bugis Makassar dan Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang memiliki dua dawai, diambil karena penemuannya dari tali layar perahu. Biasanya ditampilkan pada acara penjemputan para tamu, perkawinan, hajatan, bahkan hiburan pada hari ulang tahun.
Narasumber : Kepala Desa Pude ( Andi Amir )
D.    Seni Tari
Tari Bosara adalah tari perjamuan tamu kerajaan/kebesaran daerah Sulawesi Selatan yang sudah di kreasi. Tari bosara juga merupakan suatu tarian yang dapat menghibur dan memperkenalkan pakaian dan kebesaran adat istiadat daerah sulawesi selatan pada umumnya. Selain itu, Tarian ini juga mengambarkan bahwa orang Bugis jika kedatangan tamu senantiasa menghidangkan bosara, sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan. Tarian ini dibawakan oleh sanggar seni dan budaya Tari Bosara, selain itu tarian ini merupakan tarian untuk menyambut para tamu terhormat di perkawinan. Gerakan-gerakan badan sangat luwes dan lincah dalam melakukan gerakan tari ini.
Narasumber : Petuah adat desa Tarasu, kecamatan Kajuara ( Nenek Hasnah)
E.     Seni Rupa Badik Lagecong
1.      Badik
Badik atau badek adalah pisau dengan bentuk khas yang dikembangkan oleh masyarakat Bugis. Badik bersisi tajam tunggal atau ganda. Seperti keris, bentuknya asimetris dan bilahnya kerap kali dihiasi dengan pamor. Namun demikian, berbeda dari keris, badik tidak pernah memiliki ganja (penyangga bilah).
Badik ini merupakan senjata khas tradisonal Bugis yang berada dikepulauan Sulawesi. Ukurannya yang pendek dan mudah dibawa kemana-mana, tapi jangan salah lho kalau badik ini sudah keluar dari sarungnya pantang untuk dimasukkan sebelum meminum darah.
Maka biasanya senjata adat yang bernama Badik ini dahulu sering dipakai oleh kalangan petani untuk melindungi dirinya dari binatang melata dan atau membunuh hewan hutan yang mengganggu tanamannya. Selain itu karena orang bugis gemar merantau maka penyematan badik dipinggangnya membuat dia merasa terlindungi.
Badik memiliki bentuk dan sebutan yang berbeda-beda tergantung dari daerah mana ia berasal. Di Makassar badik dikenal dengan nama badik sari yang memiliki kale (bilah) yang pipih, batang (perut) buncit dan tajam serta cappa dan banong (sarung badik). Sementara itu badik Bugis disebut kawali, seperti kawali raja (Bone) dan kawali rangkong (Luwu). Kawali Bone terdiri dari bessi (bilah) yang pipih, bagian ujung agak melebar serta runcing. Sedangkan kawali Luwu terdiri dari bessi yang pipih dan berbentuk lurus. Kawali memiliki bagian bagian: Pangulu (ulu), bessi (bilah) dan wanoa (sarung)
Umumnya badik digunakan untuk membela diri dalam mempertahankan harga diri seseorang atau keluarga. Hal ini didasarkan pada budaya siri’ dengan makna untuk mempertahankan martabat suatu keluarga. Konsep siri’ ini sudah menyatu dalam tingkah laku, sistem sosial budaya dan cara berpikir masyarakat Bugis, di Sulawesi Selatan. Selain daripada itu ada pula badik yang berfungsi sebagai benda pusaka, seperti badik saroso yang memiliki nilai sejarah. Ada pula sebagian orang yang meyakini bahwa badik berguna sebagai azimat yang berpengaruh pada nilai baik dan buruk seseorang.
Badik lagecong,, Badik bugis satu ini dikenal sebagai badik perang, banyak orang mencarinya karna sangat begitu terkenal dengan mosonya (racunnya), banyak orang percaya bahwa semua alat perang akan tunduk pada badik gecong tersebut.,
Ada dua versi yang pertama Gecong di ambil nama dari nama sang pandre (empu) yang bernama la gecong, yang kedua diambil dari bahasa bugis gecong atau geco” yang bisa diartikan sekali geco” (sentuh) langsung mati. Sampai saat ini banyak yang percaya kalau gecong yang asli adalah gecong yang terbuat dari daun nipah serta terapung di air dan melawan arus,, wallahu alam.. Panjang gecong biasanya sejengkalan orang dewasa, pamor lonjo,, bentuknya lebih pipih,tipis tapi kuat.
Narasumber : Masyarakat desa Tarasu, kecamatan Kajuara ( Ambo Sakka )
2.      Patung Arung Palakka
Pada awalnya Bone merupakan daerah taklukan Kerajaan Gowa. VOC kemudian bersekutu dengan seorang pangeran Bugis (Bone) bernama Arung Palakka yang hidup dalam pengasingan setelah jatuhnya Bone di bawah kekuasaan Gowa. Belanda kemudian mensponsori Palakka kembali ke Bone, sekaligus menghidupkan perlawanan masyarakat Bone dan Sopeng untuk melawan kekuasaan Gowa. Setelah berperang selama setahun, Kerajaan Gowa berhasil dikalahkan. Raja Gowa, Sultan Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bungaya yang sangat mengurangi kekuasaan Gowa, dan kemudian Bone di bawah Arung Palakka menjadi penguasa di Sulawesi Selatan. Saat ini, di pusat Kota Bone berdiri patung Arung Palakka.
Narasumber : Masyarakat kabupaten Bone
F.     Upacara Adat Pernikahan
Tahap – tahap dalam upacara adat pernikahan di Kajuara, yaitu:
1. Lettu ( lamaran)
ialah kunjungan keluarga si laki-laki ke calon mempelai perempuan untuk menyampaikan keinginan nya untuk melamar calon mempelai perempuan
2. Mappettuada. (kesepakatan pernikahan)
Ialah kunjungan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan untuk membicarakan waktu pernikahan,jenis sunrang atau mas kawin,balanja atau belanja perkawinan penyelanggaran pesta dan sebagainya

3. Madduppa (Mengundang)
Ialah kegiatan yang dilakukan setelah tercapainya kesepakayan antar kedua bilah pihak untuk memberi tahu kepada semua kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan dilaksanakan.
4.   Mappate’ doi atau mette (Memberikan mas kawin yang telah disepakati)
Ialah rombongan pria mendatangi rumah wanita dengan membawa mas kawin yang telah disepakati antara keduanya.
 

 
5. Mappaccing (Pembersihan)
Mappaccing ialah ritual yang dilakukan masyarakat bugis (Biasanya hanya dilakukan oleh kaum bangsawan), Ritrual ini dilakukan pada malam sebelum akad nikah di mulai, dengan mengundang para kerabat dekat sesepuh dan orang yang dihormati untuk melaksanakan ritual ini, cara pelaksanaan nya dengan menggunakan daun pacci (daun pacar), kemudian para undangan di persilahkan untuk memberi berkah dan doa restu kepada calon mempelai, konon bertujuan untuk membersihkan dosa calon mempelai, dilanjutkan dengan sungkeman kepada kedua orang tua calon mempelai.
Biasanya pula diadakan Barazanji yang bertujuan  sebagai pernyataan syukur kepada Allah SWT dan sanjungan kepada Nabiyullah Muhammad SAW atas nikmat Islam dengan membaca shalawat Nabi. Kemudian setelah itu, dilanjut dengan mappanre temme’ atau biasa dikenal dengan penamatan al-Qur’an.
Hari pernikahan dimulai dengan prosesi dari mempelai laki-laki disertai rombongan dari kaum kerabat, pria-wanita, tua-muda, dengan membawa macam-macam makanan, pakaian wanita, dan mas-kawin ke rumah mempelai wanita.
 
Sampai di rumah mempelai wanita langsung diadakan upacara pernikahan,dilanjutkan dengan akad nikah setelah itu ada suatu kegiatan yang bernama mappassiluka antar mempelai wanita dengan mempelai cowok yang dipimpin oleh seorang yang mengerti tentang kegiatan tersebut.
Pada pesta itu biasa para tamu memberikan kado tau paksolo’. setelah akad nikah dan pesta pernikahan di rumah mempelai wanita selesai dilalanjutkan dengan acara “mapparola” yaitu mengantar mempelai wanita ke rumah mempelai laki-laki untuk bersilaturahmi dengan memberikan sesuatu yang biasanya sarung hal ini biasa disebut dengan mammatua.sebagai simbol perkenalan terhadap keluarga baru. Setelah itu, baru kedua mempelai menempati rumah mereka sendiri yang disebut nalaoanni alena.
Narasumber : Masyarakat desa Tarasu, kecamatan Kajuara ( Nenek Fatimang )Narasumber: Ambo’ Sakka

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking